Sertifikat Profesi Guru Gugur Jika RUU BHP Disahkan
Semarang, CyberNews. Jangan berharap banyak bahwa sertifikasi guru akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan. Jika RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) nanti disahkan, maka sertifikat profesi yang dimiliki guru yang sudah lolos uji sertifikasi dengan sendirinya akan gugur. Mengingat dalam pasal 47 BHP yang mengatur mekanisme guru, akan diberlakukan sistem kontrak (tenaga BHP yang terdiri atas pendidik, tenaga kependidikan, dan tenaga penunjang baik yang berstatus PNS yang dipekerjakan dan/atau pegawai nonpemerintah membuat perjanjian kerja dengan BHP-Red).
Hal itu diungkapkan Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta, Darmaningtyas pada Seminar Nasional ''Profesionalisme Guru: Antara Harapan dan Realita'' yang diprakarsai Persatuan Guru dan Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jateng di Gedung Juang 45 Jl Pemuda (6/2).
Darmaningtyas menilai pelaksanaan uji sertifikasi tidak memenuhi rasa keadilan.
Dicontohkannya guru SD yang notabene usianya sudah tidak muda lagi dan belum S1. Yang bersangkutan jelas tidak mungkin mengikuti uji sertifikasi. ''Kalaupun si guru memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S1, maka secara ekonomis hal itu tidak akan menguntungkan.''
Pasalnya, tandas dia, investasi yang ia tanamkan untuk menempuh S1 tidak sebanding dengan jumlah tambahan tunjangan sebesar 1 kali gaji yang ia terima jika kelak lolos uji sertifikasi.
Darmaningtyas juga menduga bahwa rendahnya persentese kelulusan para guru peserta uji sertifikasi di seluruh Indonesia adalah kurangnya sosialisasi dari dinas pendidikan setempat.
Pembicara lain, Prof DYP Sugiharto dari Unnes mengungkapkan bahwa respon guru terhadap uji sertifikasi itu bermacam-macam. ''Ada yang santai, cuek, atau bersemangat.'' Pada acara yang dihadiri ratusan guru SD-SMA se-Jateng itu, Sugiharto menjelaskan hal yang selama ini mengusik para guru dan menimbulkan kecemburuan di antara mereka di mana guru yang tidak aktif atau singkatnya kualitasnya diragukan, namun malah lolos uji sertifikasi.
Sugiharto yang juga bertugas sebagai asesor itu menjelaskan bahwa dari 10 komponen yang dinilai, ada 2 yang merupakan penilaian dari atasan si guru. Jika pada 2 komponen tersebut si guru mendapat poin yang tinggi, kata dia, maka asesor berkewenangan untuk memindahkannya saja.
Oleh karena itulah ia mengimbau agar kepala sekolah lebih selektif saat memberikan penilaian pada komponen pelaksanaan dan perencanaan pembelajaran pada bawahannya.
Wakil Ketua DPRD Jateng Abdul Kadir Karding menilai, konsep pelaksanaan sertifikasi guru tidak ideal. Namun demikian ia mendorong para guru melalui penguatan organisasi yang diikutinya agar terus berjuang. ''Salah jika ada anggapan guru tidak boleh demo. Political will pemerintah sebenarnya sudah ada namun guru juga harus menuntut.''
Karena, tandas dia, menunggu pejabat untuk mengubah kebijakan bukanlah hal yang mudah. Ia juga menolak diskriminasi antara guru negeri dan swasta. Diakui Karding, kendati pada APBD 2008, anggaran pendidikan Jateng mencapai 20% ( Rp 1,3 triliun dari Rp 5 triliun), namun fokus untuk implementasi di lapangan masih lemah.
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman memaparkan tentang pendapatan guru honorer di DKI yang mencapai Rp 2 juta/bulan. Adapun guru tetap di sana menerima gaji lebih dari Rp 3 juta/bulan.
Dikatakannya, hal itu tidak terlepas dari perjuangan para guru di DKI dalam hal
kesejahteraan. Ia berharap hal serupa dapat dicontoh oleh guru-guru di Jateng. Menurut dia idealnya, gaji guru pada awal ia mengajar adalah Rp 5 juta/bulan. ''Ya kalau masa mengajarnya sudah 20 tahun lebih setidaknya bergaji Rp 20-25 juta/bulan.''
Terkait masalah itu, Karding menanggapi bahwa kondisi di DKI dan Jateng berbeda mengingat APBD di sana mencapai Rp 10 triliun lebih dan di Jateng hanya Rp 5 triliun.
Adapun semua pembicara mengungkapkan hal senada bahwa seharusnya sertifikasi otomatis diberikan kepada mereka yang masa mengajarnya sudah lebih dari 5 tahun tanpa melihat latar belakang pendidikan. Kalaupun ujian seperti itu digelar, harusnya pesertanya adalah guru-guru baru.
Mereka berpendapat bahwa cara seperti itu efektif dan juga menghemat pengeluaran negara mengingat anggaran yang dikeluarkan untuk menggelar uji sertifikasi saat ini sangat besar.(Ida N/Cn08 )
Sumber: http://www.suaramerdeka.com
Read More...
Sertifikat Profesi Guru Gugur Jika RUU BHP Disahkan
Semarang, CyberNews. Jangan berharap banyak bahwa sertifikasi guru akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan. Jika RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) nanti disahkan, maka sertifikat profesi yang dimiliki guru yang sudah lolos uji sertifikasi dengan sendirinya akan gugur. Mengingat dalam pasal 47 BHP yang mengatur mekanisme guru, akan diberlakukan sistem kontrak (tenaga BHP yang terdiri atas pendidik, tenaga kependidikan, dan tenaga penunjang baik yang berstatus PNS yang dipekerjakan dan/atau pegawai nonpemerintah membuat perjanjian kerja dengan BHP-Red).
Hal itu diungkapkan Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta, Darmaningtyas pada Seminar Nasional ''Profesionalisme Guru: Antara Harapan dan Realita'' yang diprakarsai Persatuan Guru dan Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jateng di Gedung Juang 45 Jl Pemuda (6/2).
Darmaningtyas menilai pelaksanaan uji sertifikasi tidak memenuhi rasa keadilan.
Dicontohkannya guru SD yang notabene usianya sudah tidak muda lagi dan belum S1. Yang bersangkutan jelas tidak mungkin mengikuti uji sertifikasi. ''Kalaupun si guru memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S1, maka secara ekonomis hal itu tidak akan menguntungkan.''
Pasalnya, tandas dia, investasi yang ia tanamkan untuk menempuh S1 tidak sebanding dengan jumlah tambahan tunjangan sebesar 1 kali gaji yang ia terima jika kelak lolos uji sertifikasi.
Darmaningtyas juga menduga bahwa rendahnya persentese kelulusan para guru peserta uji sertifikasi di seluruh Indonesia adalah kurangnya sosialisasi dari dinas pendidikan setempat.
Pembicara lain, Prof DYP Sugiharto dari Unnes mengungkapkan bahwa respon guru terhadap uji sertifikasi itu bermacam-macam. ''Ada yang santai, cuek, atau bersemangat.'' Pada acara yang dihadiri ratusan guru SD-SMA se-Jateng itu, Sugiharto menjelaskan hal yang selama ini mengusik para guru dan menimbulkan kecemburuan di antara mereka di mana guru yang tidak aktif atau singkatnya kualitasnya diragukan, namun malah lolos uji sertifikasi.
Sugiharto yang juga bertugas sebagai asesor itu menjelaskan bahwa dari 10 komponen yang dinilai, ada 2 yang merupakan penilaian dari atasan si guru. Jika pada 2 komponen tersebut si guru mendapat poin yang tinggi, kata dia, maka asesor berkewenangan untuk memindahkannya saja.
Oleh karena itulah ia mengimbau agar kepala sekolah lebih selektif saat memberikan penilaian pada komponen pelaksanaan dan perencanaan pembelajaran pada bawahannya.
Wakil Ketua DPRD Jateng Abdul Kadir Karding menilai, konsep pelaksanaan sertifikasi guru tidak ideal. Namun demikian ia mendorong para guru melalui penguatan organisasi yang diikutinya agar terus berjuang. ''Salah jika ada anggapan guru tidak boleh demo. Political will pemerintah sebenarnya sudah ada namun guru juga harus menuntut.''
Karena, tandas dia, menunggu pejabat untuk mengubah kebijakan bukanlah hal yang mudah. Ia juga menolak diskriminasi antara guru negeri dan swasta. Diakui Karding, kendati pada APBD 2008, anggaran pendidikan Jateng mencapai 20% ( Rp 1,3 triliun dari Rp 5 triliun), namun fokus untuk implementasi di lapangan masih lemah.
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman memaparkan tentang pendapatan guru honorer di DKI yang mencapai Rp 2 juta/bulan. Adapun guru tetap di sana menerima gaji lebih dari Rp 3 juta/bulan.
Dikatakannya, hal itu tidak terlepas dari perjuangan para guru di DKI dalam hal
kesejahteraan. Ia berharap hal serupa dapat dicontoh oleh guru-guru di Jateng. Menurut dia idealnya, gaji guru pada awal ia mengajar adalah Rp 5 juta/bulan. ''Ya kalau masa mengajarnya sudah 20 tahun lebih setidaknya bergaji Rp 20-25 juta/bulan.''
Terkait masalah itu, Karding menanggapi bahwa kondisi di DKI dan Jateng berbeda mengingat APBD di sana mencapai Rp 10 triliun lebih dan di Jateng hanya Rp 5 triliun.
Adapun semua pembicara mengungkapkan hal senada bahwa seharusnya sertifikasi otomatis diberikan kepada mereka yang masa mengajarnya sudah lebih dari 5 tahun tanpa melihat latar belakang pendidikan. Kalaupun ujian seperti itu digelar, harusnya pesertanya adalah guru-guru baru.
Mereka berpendapat bahwa cara seperti itu efektif dan juga menghemat pengeluaran negara mengingat anggaran yang dikeluarkan untuk menggelar uji sertifikasi saat ini sangat besar.(Ida N/Cn08 )
Sumber: http://www.suaramerdeka.com