Banyuwangi Tourism: the Sunrise of Java
Banyuwangi; The Sunrise of Java |
Sampai-sampai muncul nama pisang Sobo –orang di luar Banyuwangi menyebutnya pisang Kepok atau pisang Kapuk. Setelah era 90-an pohon pisang mulai berkurang. Seiring dengan hilangnya pohon pisang, sebutan Kota Pisang juga tidak lagi bergema.
Berbeda dengan julukan Banyuwangi sebagai Lumbung Padi Jatim. Karena sampai sekarang hasil panen padi Banyuwangi masih surplus, julukan itu tetap melekat. Bahkan, julukan itu sudah menasional menjadi begini: Jawa Timur adalah lumbung padi nasional. Lumbung padi Jawa Timur adalah Banyuwangi.
Nasib pisang dan padi sangat bertolak belakang. Pisang terpuruk, padi tetap eksis. Keterpurukan itu seharusnya tidak perlu terjadi jika mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah, c.q. dinas terkait.
Buktinya, Lumajang sampai sekarang bisa mempertahankan sebutan Kota Pisangnya. Sebutan layak disandang karena di sepanjang jalan Klakah kita bisa menjumpai puluhan lapak menjajakan pisang kayu khas Lumajang. Bentuknya besar dan super panjang.
Lunturnya julukan Kota Pisang Banyuwangi mengundang keprihatinan. Tak ketinggalan saya dan beberapa teman wartawan senior. Kami pun terlibat diskusi (tentu saja di sela-sela waktu memburu berita) intens sekali, terutama dengan almarhum Pomo Martadi –wartawan yang juga penyair.
Kesimpulannya, tidak mungkin bersikukuh menggunakan sebutan Kota Pisang. Akhirnya, kami sepakat untuk membuat sebutan baru. Yakni, Kota Gandrung. Karena terus kami pakai dalam berita, dalam sekejab kata Kota Gandrung langsung populer.
Tak lupa pula, dalam batang berita kami sering memasukkan julukan yang lain. Yakni, Bumi Blambangan. Secara bergiliran kata Kota Gandrung dan Bumi Blambangan kami gunakan untuk mengganti kata Banyuwangi yang disebut lebih dari satu kali.
Ada dua tujuan sekaligus yang ingin kami capai. Pertama, biar pembaca tidak bosan. Kedua, ikut melestarikan warisan budaya dan sejarah daerah ini.
Seperti halnya julukan Kota Pisang, belakangan julukan itu mulai terlupakan. Kali ini penyebabnya bukan kepunahan sebagaimana yang dialami pisang. Melainkan gerusan roda politik.
Tentu saja kita masih ingat kasus pembantaian orang-orang yang diduga sebagai dukun santet. Pelanggaran berat HAM di Banyuwangi itu terjadi akhir 1998. Menewaskan 148 orang. Hasil investigasi NU (Nahdlatul Ulama) menyebut sebagian besar korban merupakan guru mengaji.
Dari Banyuwangi kasus serupa merembet ke sepuluh daerah di Jawa Timur. Yakni, Situbondo, Bondowoso, Jember, Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, Bangkalan, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep. Total korban meninggal akibat pembunuhan keji itu (termasuk di Banyuwangi) mencapai 235 orang, luka berat 32 orang, dan 35 orang luka ringan.
Peristiwa yang kental nuansa politiknya itu langsung memopulerkan Banyuwangi sebagai Kota Santet. Sangat menyeramkan. Dalam beberapa tahun setelah peristiwa tersebut, orang takut pergi ke Bumi Blambangan. Orang-orang di luar Banyuwangi juga curiga terhadap orang dari Kota Gandrung yang sedang merantau di daerahnya.
Peristiwa politik berikutnya yang mencuatkan nama Banyuwangi adalah aksi anarkis kepada Gus Dur (KH Abdurahman Wahid). Peristiwa yang dialami presiden keempat RI itu terjadi di Gedung Wanita Paramita Kencana beberapa tahun silam.
Konon, insiden tersebut terjadi akibat perseteruan dua kubu di PKB. Dan, konon pula perpecahan pengurus PKB Banyuwangi itu tercatat sebagai perpecahan pertama di Indonesia. Kita tahu, setelah itu DPP PKB pecah dan kedua pihak terlibat perseteruan yang panjang.
Rentetan peristiwa politik itu menahbiskan Banyuwangi sebagai Kota Wisata Politik. Tepatnya, wisata perseteruan politik. Bahkan, wisata kerusuhan! Ingat, saat para pendukung Gus Dur mengamuk dan menutup pelabuhan penyeberangan Ketapang. Akibatnya, aktivitas penyeberangan Ketapang-Gilimanuk terhenti total selama belasan jam. Juga aksi penolakan kedatangan Amien Rais.
Pendek kata, apa yang terjadi di Banyuwangi selalu mengundang perhatian pemerintah pusat. Bahkan, lebih dari itu. Menjalar ke pusat. Jika Banyuwangi menggeliat, pusat ikut menggeliat. Bahkan, bergejolak. Rekaman peristiwa demi peristiwa yang tercatat di cakram otak itu menginspirasi saya.
Maka, lahirlah kalimat ini: Banyuwangi, The Sunrise of Java. Fenomena yang terjadi di Banyuwangi hampir selalu menginspirasi kota atau daerah lain di Jawa, bahkan pemerintah pusat.
Banyuwangi sudah seperti mataharinya seluruh wilayah pulau Jawa. Di pagi hari, orang-orang di Jember sampai Jakarta tidak akan pernah melihat matahari sebelum orang Banyuwangi melihatnya.
Ini artinya, Banyuwangi selalu yang pertama. Nah, begitulah inti filosofi kalimat yang menurut saya bisa menjadi salah satu alternatif julukan baru Banyuwangi itu. Tinggal menggeser saja. Kalau sebelumnya rentetan peristiwa negatif, sekarang harus diganti dengan yang positif.
Dengan modal kekayaan alam melimpah berupa laut, kebun, sawah, dan pariwisata kelas dunia sudah saatnya Banyuwangi menjadi matahari (sumber inspirasi bagi daerah lain) dalam memajukan daerah. Yakni, kemajuan yang menyejahterakan rakyatnya. Dan, akhirnya saya ucapkan, ‘’Welcome to The Sunrise of Java’’.
Sumber: http://radarbanyuwangi.co.id/index.php/artikel-radar/52-internal/125-the-sunrise-of-java
2 komentar:
Iklannya menarik sekali..
trims infonya..
janganlupa kunjungi kami
www.padicityresort.com
trimakasih :)
makasih infonya :)
Posting Komentar
Pengunjung Mohon Meninggalkan Jejak Untuk Silaturrahmi Balik.